Sabtu, 30 Juli 2016

Hak Anak dan Vaksin Palsu



Kasus vaksin palsu telah membuka mata kita betapa rentannya anak-anak dari berbagai bentuk kejahatan. Kepolisian telah menetapkan sekitar 23 tersangka dalam kasus tersebut dan Kementerian Kesehatan telah membeberkan 14 rumah sakit yang diduga terlibat dalam penggunaan vaksin palsu tersebut.
Pada dasarnya vaksin dibutuhkan oleh anak-anak supaya bisa tumbuh dan berkembang secara layak, sehingga wajib diberikan pada masa-masa perkembangan awal. Dengan diberikan vaksin palsu, maka tumbuh kembang anak menjadi terganggu karena menjadi tidak kebal terhadap berbagai penyakit dan bakteri.
Dalam rangka Hari Anak Nasional setiap 23 Juli, negara perlu terus diingatkan bahwa anak-anak adalah masa depan bangsa yang akan meneruskan dan membangun estafet kepemimpinan dan pembangunan negara. Anak-anak yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang layak dan sehat menjadi salah satu fondasi lahirnya generasi bangsa yang produktif, andal, dan mampu bersaing di era kompetisi global.
Kejahatan vaksin palsu yang diduga melibatkan banyak pihak tersebut, dari tingkat pengumpul botol bekas, pembuat vaksin palsu, distributor, dokter, dan rumah sakit, adalah jaringan kejahatan yang menjalankan operasinya secara sistematis dan terencana. Hal ini karena diduga mereka sudah beroperasi selama 13 tahun dan baru terkuak setelah Polri menindaklanjuti dugaan jual beli vaksi palsu di internet dan ada bayi tujuh bulan yang tewas yang diduga akibat disuntik dengan vaksin palsu di Pandeglang, Banten.
Sebagai tumpuan masa depan bangsa dan bagian dari kelompok rentan dari berbagai bentuk kejahatan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), anak-anak berhak mendapat perlindungan lebih dari negara. Dalam kasus vaksin palsu ini, negara diduga telah gagal dalam melindungi dan memenuhi hak anak atas kesehatan sebagaimana dijamin dalam Pasal 62 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, namun masih gagal dalam mengintegrasikan prinsip dan norma yang terkandung di dalam Konvensi tersebut untuk menghormati, memenuhi, dan melindungi hak anak atas kesehatan.
Padahal, Konvensi tersebut seharusnya menjadi dasar dan norma untuk mewujudkan proses pembangunan, khususnya pelayanan kesehatan yang berbasis hak anak (child rights-based approach of health care system). Termasuk, melindungi anak-anak dari segala bentuk kejahatan kesehatan seperti vaksin palsu.
Pasal 3 ayat (1) Konvensi tentang Hak Anak menegaskan bahwa kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama dalam segala tindakan terhadap anak (child’s best interest).
Dalam kasus vaksin palsu ini, kepentingan terbaik bagi anak, khususnya dalam memperoleh haknya atas kesehatan, terabaikan. Negara diduga telah lalai dalam melakukan pengawasan sehingga vaksin palsu bisa beredar dengan bebas selama bertahun-tahun.
Di dalam Konvensi Hak Anak tersebut, ditegaskan beberapa prinsip dasar dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak anak.
Pertama, hak untuk tidak mengalami diskriminasi. Prinsip itu melarang segala bentuk diskriminasi atas penikmatan hak-hak anak, termasuk hak atas kesehatan. Negara harus bersikap pasif agar tidak mengganggu, mengurangi, atau menghalangi setiap anak dalam menikmati hak-haknya.
Di samping peran pasif negara, dibutuhkan tindakan proaktif dari negara untuk menjamin adanya kesempatan yang sama bagi setiap anak untuk menikmati hak-haknya.
Kedua, hak untuk hidup, bertahan, dan mengembangkan diri. Negara harus menciptakan lingkungan yang mampu menghormati martabat anak dan menjamin pengembangan diri yang holistik bagi setiap anak. Dengan demikian, anak mampu mengembangkan potensi dirinya secara bebas dan dinamis.
Ketiga, hak untuk didengar. Negara harus menghormati hak anak untuk mengekspresikan pandangannya secara bebas. Kadang, karena dianggap masih di bawah umur, orangtua atau negara mengabaikan aspirasi atau pendapat anak. Padahal, anak pada setiap jenjang umur dan tingkat kedewasaan mempunyai kemampuan untuk mengekspresikan dirinya. Semua pihak harus belajar untuk memahami ekspresi anak sebagai bagian dari hak anak untuk didengar.
Lebih lanjut, Pasal 3 ayat (3) Konvensi Hak Anak menyebutkan bahwa negara berkewajiban memastikan lembaga-lembaga yang bertanggung jawab atas perawatan dan perlindungan anak agar melakukan pengawasan dalam bidang kesehatan dan keselamatan anak.
Di dalam Komentar Umum PBB Nomor 14 tentang Hak atas Standar Kesehatan yang Tinggi sebagai penjabaran dari Pasal 12 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, terdapat empat elemen mendasar yang harus dipenuhi negara dalam menghormati, memenuhi, dan melindungi hak atas kesehatan, khususnya bagi anak-anak.
Pertama, ketersediaan, di mana fasilitas kesehatan harus tersedia dalam jumlah dan kualitas yang memadai untuk menjamin hak anak untuk mendapatkan kesehatan. Misalnya, negara harus mengawasi ketersediaan vaksin secara benar dan dalam jumlah yang cukup sehingga tidak ada peluang masuknya vaksin palsu.
Kedua, aksesibilitas, di mana negara harus memastikan fasilitas kesehatan, termasuk vaksin bisa diakses oleh semua orang tanpa diskriminasi, juga di daerah yang terpencil sekalipun. Terkuaknya korban vaksin palsu di ibukota negara menimbulkan pertanyaan, bagaimana dengan anak-anak yang jauh dari ibukota yang tidak bisa mengakses vaksin yang benar. Untuk itu, negara harus memastikan bahwa anak-anak di daerah pun terbebas dari kejahatan vaksin palsu ini.
Ketiga, keberterimaan, di mana fasilitas kesehatan, barang, dan pelayanannya harus menghormati sisi etika dan budaya setempat. Dalam konteks budaya dan masyarakat tertentu, pemberian vaksin perlu dikonsultasikan dengan pimpinan adat (budaya) sehingga bisa diterima secara baik.
Keempat, kualitas, di mana fasilitas, barang, dan pelayanan kesehatan harus dijamin kualitasnya, sehingga setiap anak memperoleh hak atas kesehatan yang setara dan berkualitas yang menjamin dirinya mampu tumbuh dan berkembang secara layak.
Kasus vaksin palsu adalah ujian bagi negara untuk menuntaskannya dari hulu hingga ke hilir. Sebab, ia tidak hanya menjadikan anak-anak sebagai korban, tapi juga mempertaruhkan kualitas generasi masa depan bangsa.
Proses hukum yang sedang berjalan harus diawasi dan dikontrol sehingga penegak hukum bisa menguak akar kejahatan sampai ke aktor besarnya. Sedangkan atas korban vaksin palsu, negara harus memulihkannya melalui langkah-langkah yang segera dan terencana, di antaranya melakukan pemeriksaan ulang, pemberian vaksin ulang, dan mengontrol proses produksi dan distribusi vaksin secara benar.

Oleh : Zainal Abidin Hasan

Peringatan Hari Anak 23 Juli



         Anak adalah masa depan, dipundaknya tergantung harapan. Orang tua sangat menantikan kehadiran anak setelah menikah untuk meneruskan garis keturunan, anak adalah titipan illahi yang harus diperlakukan dengan penuh kasih sayang.
Sebagai calon penerus bangsa, anak-anak memerlukan perhatian amat serius. Mereka memerlukan kelembutan serta kasih sayang tidak saja dari orang-tua, namun juga lingkungan dan pemerintah. Anak yang berada dalam keluarga yang serasi serta bahagia akan tumbuh serta berkembang menjadi orang yang bisa memberi kasih sayang pada beberapa orang yang ada di sekelilingnya.
Hal ini sangat berlainan dengan anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang tidak harmonis, bila saat kecil anak tak memperoleh kasih sayang serta perhatian yang layak dari orang-tua, anak itu condong akan tumbuh dewasa tanpa mengerti makna kasih sayang
Begitu pentingnya keberadaan anak,  pemerintah melalui  Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 1984 tanggal 19 Juli 1984, menetapkan peringatan hari anak nasional jatuh pada tanggal 23 Juli. Peringatan hari anak  adalah untuk mengingatkan kita semua, seluruh komponen bangsa mengenai apa tugas dan kewajiban kita masing-masing untuk mengembangkan generasi anak Indonesia yang lebih baik, lebih handal, dari semua segi, menjadi lebih baik dari generasi sekarang. Suatu bangsa akan maju apabila generasi pengganti lebih baik dari generasi yang diganti.
Namun fenomena yang terjadi belakangan ini cukup membuat kita tersentak, salah satunya kasus Angeline, berupa penelantaran, kekerasan dan kekejaman pada anak di Indonesia membuat kita prihatin membuka mata kita betapa kita selama ini abai dan tidak mempunyai sense of belonging sehingga terjadi tragedi yang mengenaskan tersebut.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, mengenai Perlindungan Anak, serta mengupayakan perlindungan, sekaligus mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya dan perlakuan tanpa adanya diskriminasi. Pemerintah hendaknya lebih serius dalam memberikan perlindungan kepada anak-anak Indonesia, memberikan jaminan keamanan, hak mendapatkan kesehatan, melindungi anak selaku konsumen dari makanan dan minuman yang membahayakan kesehatan anak,  juga dari tayangan media yang merusak ranah fikir anak.
Anak Indonesia saat ini yang lahir ditengah gegap gempita teknologi Informasi, mengalami semacam pengkarbitan, banyak diantara mereka yang berpikiran melebihi usianya, dewasa sebelum waktunya, hal ini tidak terlepas dari persinggungan mereka dengan perangkat IT, yang dikenalkan orang tuanya sejak dini, karena sebagian orang tua beranggapan anaknya jangan sampai mengalami gagap teknologi Informasi.
Menurut Kementerian Kominfo  data pengguna internet pada tahun 2015 sebanyak 139 juta orang, sedang pada 2014 saja  pengguna internet di Indonesia telah mencapai 82 juta orang. Dengan capaian tersebut, Indonesia berada pada peringkat ke-8 di dunia, Dari jumlah pengguna internet tersebut, 80 persen di antaranya adalah remaja berusia 15-19 tahun. Untuk pengguna facebook, Indonesia di peringkat ke-4 besar dunia.
Penyelenggaraan Peringatan Hari Anak Nasional yang dilaksanakan setiap tahun, memberikan rasa gembira kapada anak  karena banyak acara dan moment penting yang dapat mereka nikmati. tetapi hendaknya tidak hanya sebatas seremonial untuk kemudian dilupakan .
Orang tua, pemerintah dan lembaga yang bertanggung jawab terhadap anak hendaknya memenuhi kebutuhan/ hak  anak antara lain:  hak untuk memperoleh kasih sayang; kebebasan untuk bercita-cita;  menikmati dunia anak yang sebenarnya (bermain); perlindungan agar tak terpapar teknologi yang menyebabkan adiktif; mengenal sejarah perjuangan bangsanya; memperoleh pendidikan religi dan spritual dan hak mendapatkan pembentukan karakter/ kepribadian. Maka sudah semestinya menjadikan momen peringatan Hari Anak Nasional sebagai hari evaluasi dan refleksi, sehingga kedepan anak-anak tidak lagi menjadi korban eksploitasi dan kekerasan, tetapi mereka dapat menikmati masa anak-anaknya dengan menerima hak-haknya sebagai anak dengan baik.
Bila saja semua hak diatas dapat terpenuhi maka akan terbentuk generasi muda yang Indonesia yang berkarakter berkepribadian baik , tangguh dan mampu bersaing diera globalisasi.

Oleh : Ayu Andini

Jumat, 29 Juli 2016

Kesehatan Mental


Hasil penelitian menunjukkan bahwa pikiran yang sehat dapat mempengaruhi pengobatan dan penyembuhan seseorang. Kita semua memerlukan pikiran yang sehat untuk mendapatkan hidup yang berkualitas.
Seseorang yang sehat mentalnya dapat menghadapi perubahan-perubahan dalam hidup, mempertahankan pandangan yang positif, mencari stimulasi intelektual, dan interaksi antar manusia,serta secara kreatif menggunakan waktunya untuk bekerja serta melakukan aktivitas sukarela. Kesehatan mental erat kaitannya dengan Stres. Stres adalah sesuatu yang pasti akan kita alami disaat menghadapi lingkungan yang selalu berubah-ubah. Kita memang perlu sedikit tekanan serta tantangan untuk mempertahankan kewaspadaan serta meningkatkan motivasi kita. Namundemikian, stress yang terlalu besar dihubungkan dengan berkembangnya berbagai penyakit seperti sakit kepala, sulit tidur, tukak lambung, tekanan darah tinggi, penyakit jantung dan stroke. Beberapa orang diantaranya mungkin berusaha melarikan diri dari masalah atau menyelesaikannya dengan menggunakan obat-obat terlarang, alkohol atau rokok. Tindakan tersebut dapat sedikit membantu dalam jangka pendek, namun akibat yang ditimbulkan selanjutnya amatlah besar. Memahami dan mempelajari cara mengatasinya merupakan hal pokok untuk mendapatkan pikiran yang sehat. Mempertahankan pikiran yang sehat memerlukan perilaku yang positif. Berikut ini beberapa petunjuknya.
  1. Melakukan perawatan diri yang baik bagi tubuh maupun pikiran. Seperti kata pepatah “didalam pikiran yang sehat terdapat tubuh yang sehat”.
  2. Menjalani gaya hidup sehat seperti cukup beristirahat, makan dengan baik, dan berolahraga.
  3. Mengaktifkan pikiran dengan mempelajari hal-hal yang baru, membaca, dan berinteraksi dengan orang lain.
  4. Mengetahui saat-saat memerlukan bantuan. Salah satu tanda bagi seseorang yang bermental sehat adalah kesediaannya untuk mencari pertolongan bila hidup terasa sulit atau amat membebani.
  5. Mendapatkan dukungan sosial dan kasih serta perhatian orang lain. Cinta kasih adalah kekuatan yang dapat menumbuhkan semangat.
  6. Menghabiskan waktu sendiri untuk merefleksi diri, bermeditasi atau sekedar mendapatkan ketenangan ketika mengatasi kesulitan-kesulitan.
  7. Turut berpartisipasi secara teratur dalam aktivitas yang bersifat menyenangkan, santai, dan kreatif.
Oleh : Anastika Suri Irviyanti